ryegasayang
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik sekarang ini harus mencerminkan azas ketaatan pada hukum atau yang lebih populer dengan istilah taat hukum. Hal ini wajar karena Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum sehingga akan berdampak pada pelaksanaan penyelenggaraan dan pemerintahan, yang tertuju pada para birokrat.
Berbagai problematika yang terjadi ditengah masyarakat dalam kehidupan bernegara seperti Indonesia ini, sudah semestinya dikaitkan dengan eksistensi hukum. Dasarnya karena itu tadi di dasarkan atas azas hukum (rechts-staat) dan bukan Negara yang di dasarkan atas kekuasaan (machts-staat) semata. Ketika terjadi suatu kasus yang menyangkut dimensi sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik serta pemerintahan, maka tidak bisa tidak, eksistensi hukum kembali dipertanyakan dan bahkan digugat oleh masyarakat, apabila ketika hukum dinilai atau dievaluasi telah gagal menjalankan misi sucinya.
Sepertinya, julukan “rechtstaat” saja belum cukup memenuhi dan menjawab problematika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Artinya, masyarakat membutuhkan suatu bukti konkrit dari action yang menunjukkan bahwa eksistensi hukum itu benar-benar memberikan jawaban yang bermanfaat bagi keadilan, kemanusiaan, dan peradabannya.
Hukum menjadi pihak yang tergugat ketika dalam realitasnya ternyata hukum hanya ada dalam “nama”, namun tidak ada atau gagal terwujud dalam realitas. Realitas inilah yang sering kali dituntut pertanggungjawabannya pada unsur-unsur penegakkan hukum (law enforcement). Penegakkan hukum menjadi dimensi yang sangat strategis, terutama saat ini di Indonesia yang sedang berada pada era globalisasi. Menjadi penting, karena hal ini berkaitan dengan pekerjaan norma, seperti dalam implementasi sistem peradilan (justice system) yang sering dipertanyakan masyarakat hukum secara luas.
Negara hukum sudah jelas itulah yang ditegaskan dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar dan, sekarang bagaimana pelaksanaannya dalam kegiatan sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
B. Hukum
Hukum,dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat, yang harus ditaati oleh semua komunitas masyarakat yang terkait dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di.dalam hukum terumus larangan maupun perintah yang menuntun setiap orang atau subjek hukum untuk melaksanakannya. Ketaatan menjadi standar utama yang akan menentukan citra hukum di tengah masyarakat, termasuk bagi pelaksana maupun bagi penegak hukum itu sendiri[2]. Sehingga dengan demikian, hukum akan terus mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara, sesuai dengan tujuan hukum yakni keadilan.
Bagaimanapun hukum mengatur aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tujuan atau goal of law dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi dapat dikatakan dari beberapa pakar mengemukakan yang dimaksud dengan hukum ;
1. Grotius; hukum adalah suatu aturan dari tindakan moral yang mewajibkan pada suatu yang benar.
2. Hoobes; hukum sebagai suatu kebenaran dimana dunia hukum melalui kebenaran mengandung perintah terhadap yang lainnya.
3. Philips S James; Hukum adalah sekumpulan aturan untuk membimbing prilaku manusia yang diterapkan dan ditegakkan di antara anggota suatu Negara.
4. Utrecht; Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu
Agar hukum itu berfungsi di masyarakat hendaknya hukum itu responsif artinya merupakan sarana respon atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan hukum itu akan berlaku efektif dimasyarakat, apabila hukum itu bermaterikan hukum yang hidup di masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat diterima dan didukung oleh masyarakat (dari masyarakat untuk masyarakat).
Pada hukum yang responsif, keabsahan hukum di dasarkan pada keadilan substantive dan aturan-aturan tunduk pada prinsip, dan kebijaksanaan. Diskresi dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan. Paksaan lebih Nampak dalam bentuk alternatif positif seperti insentif positif atau sistem kewajiban mandiri. Moralitas yang nampak adalah “moralitas kerja sama”, sementara aspirasi-aspirasi hukum dan politik berada dalam keadaan terpadu. Ketidakadilan dinilai dalam ukuran dan kerugian-kerugian substantif dan dipandang sebagai tumbuhnya masalah legitimasi.
C. Tujuan Hukum
Berbicara mengenai tujuan hukum akan tergantung dari perspektif mana seorang melihat hukum itu sendiri. Namun demikian, secara umum tujuan hukum meliputi:
1. The goal of promoting morality (untuk menegakkan moral)
2. The goal of reflecting custom (untuk merefleksikan kebiasaan)
3. The goal of social welfare (untuk kesejahteraan masyarakat)
4. The goal of serving power (untuk melayani kekuasaan)
Bahwa tujuan hukum tersebut harus melindungi esensi kemanusiaan serta sudah seharusnya merupakan refleksi dari kehendak Tuhan (a reflection of God’s will) Sebagai salah satu esensi human nature adalah keinginan untuk bertahan (survive), maka hukum harus melindungi dan menegakkan agar manusia dapat survive.
Untuk menopang kelangsungan kehidupan dan melindungi kehidupan manusia, hukum melindungi nyawa manusia dari pembunuhan dan penganiayaan. Selain itu hukum melindungi harta sebagai sarana akan kelangsungan hidup dari pencurian dan cara-cara illegal lainnya. Kepentingan manusia tidak berhenti sebatas perlindungan nyawa dan harta, tetapi juga termasuk kehormatan dan kemerdekaan serta kesusilaan.
Di samping itu yang perlu diperhatikan dalam mengelola tujuan hukum tersebut adalah aturan, norma dan pola perilaku manusia yang berada dalam sistem hukum itu berada dan dipergunakan.
Dalam menjalankan sistem hukum yang telah berjalan di dalam kehidupan masyarakat kita harus memperhatikan beberapa elemen:
1. Materi hukum (tatanan hukum) yang di dalamnya terdiri dari:
a. Perencanaan hukum;
b. Pembentukan hukum;
c. Penelitian hukum;
d. Pengembangan hukum
Untuk membentuk materi hukum harus diperhatikan political will, yang dapat berbeda dari waktu ke waktu karena adanya kepentingan dan kebutuhan.
2. Aparatur hukum, yaitu mereka yang memiliki tugas dan fungsi: penyuluhan hukum, penerapan hukum, penegakan hukum dan pelayanan hukum.
3. Sarana dan prasarana hukum yang meliputi hal-hal yang bersifat fisik.
4 Budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat termasuk para pejabatnya.
5. Pendidikan hukum.
D. Asas Hukum Penyelenggaraan Pemerintahan
Untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan wewenang, atau lebih tepat “untuk mencapai dan memelihara adanya pemerintahan dan adminstrasi yang baik, yang bersih (behoorlijk bestuur)”, maka ada beberapa azas pemerintahan/administrasi negara, yang dapat dibagi menjadi dua golongan atau kategori, yakni:
1. Asas-asas yang mengenai prosedur dan atau proses pengambilan keputusan, yang bilamana dilanggar secara otomatis membuat keputusan yang bersangkutan batal karena hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya.
a. Asas yang menyatakan, bahwa orang-orang yang ikut menentukan atau dapat mempengaruhi terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung mupun tidak langsung.
b. Asas, bahwa keputusan-keputusan yang merugikan atau mengurangi hak-hak seorang warga masyarakat atau warga negara tidak boleh diambil sebelum memberi kesempatan kepada warga tersebut untuk membela kepentingannya.
c. Asas yang menyatakan, bahwa konsiderans (pertimbangan motivering) dari keputusan wajib cocok dengan atau dapat membenarkan dictum (penetapan) dari keputusan tersebut, dan bahwa konsiderans tersebut mempergunakan fakta-fakta yang benar.
2. Asas-asas yang mengenai kebenaran dari fakta-faktanya yang dipakai sebagai dasar untuk pembuatan keputusannya;
a. Asas larangan kesewenang-wenangan
Adalah suatu perbuatan atau keputusan yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar, sehingga tampak atau terasa oleh orang-orang yang berpikir sehat (normal) adanya ketimpangan.
Sikap ini akan terjadi apabila pejabat administrasi negara yang bersangkutan menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat dianggap tidak wajar.
b. Asas larangan penyalahgunaan jabatan atau wewenang
Bilamana suatu wewenang oleh pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang daripada apa yang dimaksud atau dituju oleh wewenang sebagaimana ditetapkan atau ditentukan oleh undang-undang yang bersangkutan.
c. Asas kepastian hukum
Bahwa sikap atau keputusan pejabat administrasi negara tidak boleh menimbulkan keguncangan hukum atau status hukum. d. Asas larangan melakukan diskriminasi hukum
Bahwa sikap atau putusan berlaku kepada semua pihak baik individu maupun golongan sehingga tidak akan menimbulkan pendapat bahwa negara adalah milik dari golongan rakyat tertentu saja.
e. Asas batal karena kecerobohan pejabat yang bersangkutan
Dalam hal ini bilamana seorang pejabat administrasi negara telah mengambil keputusan dengan ceroboh, kurang teliti di dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang dikemukakan oleh seorang warga masyarakat yang menguntungkan baginya, sehingga warga masyarakat yang bersangkutan dirugikan.
Bilamana asas-asas hukum tersebut tidak dijunjung tinggi, maka bonafiditas dan kebersihan daripada pemerintahan/administrasi tidak akan tercapai, dan keputusan-keputusannya serta tindakan-tindakannya tidak akan mempunyai wibawa serta efek yang diharapkan.
E. Birokrasi Penyelenggara Pemerintahan Untuk Menjadikan Good Governance
Fungsi dan peran birokrasi yang dinahkodai oleh para aparatur pemerintah sangatlah penting di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di dalam birokrasi, sumber daya manusia yang berupa aparatur pemerintah sebagai faktor kunci terhadap proses perubahan yang meliputi segenap aspek baik itu sosial, politik, ekonomi, manajemen, organisasi. Aparatur menjadi penentu utama dalam penyelenggaraan pelayanan yang hakekat sesungguhnya adalah untuk melayani kebutuhan dan kepentingan manusia itu sendiri.
Untuk mencapai tujuan yang mulia dari birokrasi, diperlukan kiranya aparatur pemerintah yang handal dan cekatan dalam menangkap kebutuhan jaman yang semakin kompleks dewasa ini. Aparatur pemerintah yang mempunyai kejujuran, bisa menjadi suri tauladan bagi publik, memiliki kesadaran dan ketulusan untuk mengabdi dan membela kepentingan publik, memiliki kapasitas intelektual, keterampilan, penguasaan tekhnologi, dll. Sejumlah tuntutan kemampuan tersebut merupakan kebutuhan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemerintah Dalam Birokrasi Publik di Indonesia.
Sekarang ini paradigma good governance sedang mengemuka. Untuk keperluan birokrasi yang good governance diperlukan Sumber Daya Manusia (aparatur Negara) yang relevan. Jika mendengar istilah good governance yang ada di benak kita hanyalah definisi penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tapi penyelenggaraan seperti apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan masih belum dapat dibayangkan. Secara umum penyelenggaraan yang dimaksud terkait dengan isu transparasi, akuntabilitas publik dan sebagainya. Padahal untuk mewujudkan pemahaman good governance sebenarnya amatlah pelik dan kompleks, tidak hanya sekedar memperjuangkan transparasi dan akuntabilitas pada level tertentu. Good governance lebih dari sekedar usaha untuk memperbaiki kepemerintahan semata akan tetapi kenyataannya jauh lebih pelik dan kompleks.
Permasalahan ini semakin rumit manakala tuntutan good governance mengharuskan perubahan berbagai aspek terkait dari semua sistem penyelenggaraan pemerintahan yang sudah tertanam lama, terlebih-lebih jika dihadapkan pada sistem pemerintahan yang sudah sangat patologis. Perubahan yang diinginkan adalah meliputi aspek kinerja kepegawaian sampai dengan pertanggungjawaban penyelenggaraan pada level elite pemerintahan.
Menurut UNDP, istilah governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya sekedar dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga unutk menciptakan kohesi, integrasi, serta untuk kesejahteraan rakyatnya. Sementara definisi good governance menurut World Bank ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Tata pemerintahan yang baik (terjemahan dari good governance) merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen yakni pemerintahan (government), rakyat (citizen), atau civil society dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding, atau tidak terbukti maka akan terjadi pembiasan dari tata pemerintahan yang baik.
Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator dan katalisator, sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. Dengan begitu, kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya “kemitraan” antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa, LSM, dunia usaha serta individu secara luas guna terciptanya manajemen pembangunan yang bertanggungjawab.
Istilah Governance, Good Governance, dan Good public Governance menjadi popular dalam kurun waktu 1996-1997 karena banyak di perkenalkan oleh lembaga pemberi bantuan luar negeri (foreign donor agencies) baik yang bersifat multilateral maupun bilateral. Istilah tersebut sering dikaitkan dengan kebijakan pemberian bantuan (Aid Policies), dalam arti Good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah. Meskipun beberapa donor internasional cenderung menggunakan terminologi yang berbeda mengenai aparatur pemerintahan namun yang dimaksud adalah sama.
Uraian di atas, Governance merujuk pada tiga pilar yakni : Public Governance merujuk pada lembaga pemerintah, Coporate Governance menunjuk pada pihak swasta/dunia usaha, dan civil society (masyarakat sipil). Untuk mewujudkan Good Governance, upaya pembenahan pada satu pilar harus dibarengi dengan pembenahan pada berbagai pilar lainnya secara serentak dan seimbang. Budi Winarno memberikan penjelasan bahwa, kebaruan konsep dan prinsip governance, accountability, dan stakeholders justru menyadarkan kita semua akan pentingnya upaya-upaya untuk segera memasyarakatkan secara luas. Governance harus segera disosialisasikan ke seluruh warga masyarakat Indonesia untuk menciptakan generasi baru bangsa yang besar.
F. Kesimpulan
Dengan adanya penyelengaaraan pemerintahan berdasarkan oleh asas-asas hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, diharapkan aparatur negara dapat menjalankan pekerjaannnya dengan prinsip kehati-hatiannya. Sehingga masyarakat tidak akan merasa dirugikan, dan yang terpenting penyelenggaraan Negara dapat berjalan sebagaimana mestinya dan sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh lapisan masayarakat. Terpenting terciptanya good governance, di Indonesia.
0 Responses

Posting Komentar

kritik dan saran